The Reason of My Life

The Reason of My Life
terimakasih untuk setiap cinta dari kalian untuk azt :*

Senin, 14 Januari 2013

PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA BERKAITAN DENGAN POLA KOMSUMSI PANGAN DAN GIZI PENDUDUK

MAKALAH ILMU GIZI
“PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA BERKAITAN DENGAN POLA KOMSUMSI PANGAN DAN GIZI PENDUDUK”










DISUSUN OLEH :
KELOMPOK IVb
NUR UMRIANI
RIVAI ABRIANSYAH IRWAN
JULISTIN CAHYANI SALMON
ZULFADHLI
A.DULU WINARNI
SUPRIYADI



JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2012

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Dalam catatan antropologi, peradaban manusia dibedakan berdasarkan mata pencaharian masyarakat. Tahap pertama (gelombang hidup pertama) ditandai dengan adanya peradaban manusia yang didominasi oleh tradisi memburu dan meramu. Pola konsumsi manusia pada masa itu dengan makan makanan hasil ramuan bahan tumbuhan yang dikumpulkan dari hutan dan memakan hasil hutan (hewan atau tumbuhan) yang diburu kemudian dimakan.
Setelah terjadi revolusi atau gelombang peradaban yang pertama, manusia beranjak pada tahapan agrikultur. Mata pencaharian manusia sudah bukan lagi berburu dan meramu, melainkan sudah pada tahap bercocok tanam. Pada tahap ini pola dan jenis makanan yang dikonsumsi pun adalah makanan hasil olahan
Setiap masyarakat memiliki persepsi yang berbeda mengenai benda yang dikonsumsi. Perbedaan persepsi ini sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang berlaku di masyarakat. Oleh karena itu, bila bertemu beberapa orang dengan latar belakang budaya berbeda akan menunjukkan persepsi ini terhadap makanan yang berbeda
Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pola makan dan gaya hidup masyarakat menjadi semakin modern. Hal tersebut juga merubah stuktur sosial dan kebudayaan masyarakat. Perubahan tersebut berkaitan dengan perubahan pola konsumsi, produksi, dan distribusi pangan
Pola makan masyarakat modern cenderung mengonsumsi makanan cepat saji (fast food). Hal ini mereka lakukan karena tingginya jam kerja atau tingginya kompetisi hidup yang membutuhkan kerja keras. Padahal, dibalik pola makan tersebut, misalnya hasil olahan siap santap, memiliki kandungan garam yang sangat tinggi

B.     Tujuan
1.      Mengetahui pola komsumsi pangan
2.      Perubahan social dan kebudayaan berkaitan dengan pola komsumsi pangan dan gizi penduduk.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pola Komsumsi Pangan
1.      Refleksi Pola Pangan
Secara sederhana pola makan yang benar dapat kita terjemahkan sebagai upaya untuk mengatur agar tubuh kita terdiri dari sepertiga padatan (berupa makanan), seperti cairan dansepertiganya adalah ruangan kosong untuk udara. Prinsip sepertiga padatan,sepertiga cairan dan sepertiga ruang kosong tersebut mengajarkan kepada kita suatu pola keseimbangan tubuh melakukan metabolisme secara wajar.
Dewasa ini berbagai penyakit akibat infeksi dan gizi kurang telah berhasil di tekan berkat kemajuan ilmu kesehatan,teknologi pangan dan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi meningkatnya kemakmuran masyarakat Indonesia yang disertai gaya hidup santai (sedentary life style) dan perubahan pola makan, menyebabkan meningkatnya berbagai penyakit akibat gizi lebih,dan penyakit degenaratif (seperti jantung,diabetes,kanker,osteoporosit,dll).
Status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan refleksi dari apa yang kita makan sehari-hari,  status gizi dikatakan baik apabila pola makan kita seimbang, artinya banyak dan jenis makanan yang nkita maakan sesuai dengan yang dibutuhkan tubuh. Apabila yang dimakan melebihi kebutuhan tubuh maka tubuh akan kegemukan, sebaliknya bila yang dimakan kurang dari yang dibutuhkan maka tubuh akan kurus dan sakit-sakitan. Kedua keadaan tersebut sama tidak baiknya sehingga disebut gizi salah.
Status gizi seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tingkat pendapatan, pengetahuan gizi dan budaya setempat. Tingginya pendapatan yang tidak diimbangi pengetahuan gizi yang cukup, akan menyebabkan seseorang jadi konsumtif dalam pola makanya sehari-hari. Dapat dipastikan bahwa pemilihan suatu bahan makanan lebih didasarkan kepada pertimbangan selera ketimbang gizi.
Dewasa ini meningkatnya arus globalisasi, termasuk globalisasi pola konsumsi makanan, tidak dapat dibendung, kecenderungan untuk mengkonsumsi makanan impor, terutama jenis siap santap (fast food) seperti ayam goreng, pizza, hamburger dan lain-lain, telah meningkatkan tajam terutama dikalangan generasi muda dan kelompok masyarakat ekonomi menengah keatas dikota-kota besar, dipihak lain, kecintaan masyarakat terhadap makanan tradisional Indonesia mulai menurun.
Meningkatnya taraf hidup (kesejahteraan) masyarakaat, pengaruh promosi melalui iklan, serta kemudahan informasi, dapat menyebabkan perubahan gaya hidup dan timbulnya kebutuhan psikogenik baru dikalangan masyarakat ekonomi menengah keatas. Kebutuhan psikogenik (semata-mata timbul karena faktor psikogenik) ini ditandai dengan pemilihan bahan-baahan mkanan yang terlalu mewah, padat kalori dan protein, serta berharga mahaal,yang sesungguhnyantidak diperlukan tubuh untuk hidup sehat.
The national Academy of Sciences menyatakan, faktor makanan bertanggung jawab atas 60% kasus kanker pada wanita dan 40% pada pria. Beberapa cara untuk mencegah kanker yang dapat disarankan adalah ; menghindari obesitas; mengurangi berlemak; meningkatkan makanan berserat, meningkatkan konsumsi anti oksidan berupa vitamin A, C, dan E, menghindari penggunaan alkohol, serta membatasi makanan yang diawetkan dengan garam, asap dan nitrat.

2.      Variasi Makanan
Didunia ini tidak ada satupun bahan  pangan yang mengandung sekaligus semua unsur gizi yang kita perlukan, dalam jumlah yang cukup. Dengan demikian bila kita ingin memenuhi kebutuhan semua zat gizi, baik macam maupun jumlahnya, maka tidak ada cara lain kecuali menambah keragaman bahan pangan yang dikonsumsi sehari-hari.
Dengan kombinasi konsumsi yang beragam, maka unsur-unsur gizi dari bahan pangan tersebut akan saling melengkapi satu sama lain, kekurangan zat gizi dari bahan pangan satu, akan ditutupi oleh bahan pangan lainnya. Dengan demikian maka konsumsi pangan yang beragam akan lebih baik bagi  kesehataan tubuh, dibandingkan dengan pola konsumsi yang hanya mengandalkan kepada bahan pangan tunggal tertentu.
Contoh diversifikasi konsumsi pangan adalah mengkombinasikan sumber karbohidrat yang berupa jagung,umbi dan sagu dengan ikan dan kacang-kacangan sebagai sumber protein dan sayuran sebagai sumber vitamin dan mineral. Supaya suatu bahan menarik perhatian maka harus diolah dan divariasikan, sehingga diperoleh produk pangan denagn penampilan bentuk, tekstur, warna, aroma, dan cita rasa yang memikat. (prof DR.Made astawan www.gizi.net).

3.      Pola Pangan 4 Sehat 5 Sempurna
Pola pangan 4 sehat 5 sempurna diciptakan pada tahun 1950-an oleh Prof. Poerwo Soedarmo yang sering disebut juga sebagai bapak gizi Indonesia. slogan  “Empat sehat lima sempurna’’ berisikan lima kelompok makanan yaitu :
1)    Makana pokok
2)    Lauk pauk
3)    Sayur-sayuran
4)    Buah-buahan dan
5)    Susu.
Kelima kelompok makanan ini dituangkan dalam suatu logo berbentuk lingkaran yang menempatkan makanan satu sampai empat disisi dalam lingkaran mengelilingi kelompok ke-5 yaitu susu dibagian tengah. Karena ada kesan perbedaan mengenai susu, maka kemudian ada upaya untuk merubah kesan tersebut, sehingga pada tahun 1991 Departemen Kesehatan menerbitkan buku pedoman menyusun menu nsehat bergizi untuk keluarga. 4 sehat sempurna dengan logo yang telah mengalami perubahan , jadi golongan makanan disusun dalam lingkaran dan terdiri dari lima belahan (menurut arah putaran jarum jam); 1) makanan pokok, 2)sayur-sayuran, 3) susu, 4) buah-buahan dan yang 5) lauk-pauk.
4.      Pedoman Umum Gizi Seimbang
Pada tahun 1992 di Roman, Italia diadakan kongres gizi internasional yang merekomendasikan agar setiap negara menyusun Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) untuk menghasilkan sumber tenaga manusia yang handal. Oleh karena itu indonesia melalui Direktorat Bina Gizi masyarakat, Departemen Kesehatan (Depkes) membuat pedoman umum gizi seimbangdengan logo yang berbentuk kerucut atau tumpeng yang berbentuk dari 3 tngkat,yaitu :
1)      Tingkat dasar menggambarkan zat tenaga, yaitu padi-padian, umbi-umbian, dan tepung-tepungan
2)      Diisi dengan kelompok makanan zat pengatur, yaitu sayur-sayuran dan buah-buahan
3)      Kelompok makanan zat pembangun, yaitu gabungan makanan hewani (termasuk susu) dan nabati.
Dangan melihat perkembangan yang ada pada tahun 2002 Depkes telah merampungkan revisi terhadap PUGS tahun 1994. Bentuk logo PUGS sama dengan tahun 1994, yaitu kerucut  atau tumpeng tetapi menjadi terdiri dari 4 bagian, refisi tersebut adalah :
I.          Pertama jumlah tingkat kerucut yang sebelumnya tiga menjadi empat tingkat yaitu : tingkat dasar bahan makanan sumber tenaga, karbohidrat, tingkat kedua sayur dan buah, tingkat ketiga protein hewani dan nabati dan ke empat golongan lemak dan minyak
II.       Kedua terdapat tingkat tiga yang berisi makanan sumber zat pembangun/protein, terbuat secara terpisah antara hewani dan nabati (sebelum digabungkan)
III.    Ketiga penempatan lemak dan minyak pada puncak tertinggi tumpeng yang sebelumnya tidak ada
IV.    Keempat adanya petunjuk penggunaan masing-masing golongan makanan tersebut dalam bentuk porsi
Di indonesia PUGS tersebut dijabarkan sebagai 13 pesan dasar yang dapat dijadikan pedoman bagi setiap penduduk, adalah sebagai berikut :
1.         Makanlah aneka ragam makanan, yaitu makanan sumber zat tenaga (kerbohidrat), zat pembangun (protein), serta zat pengangkut (vitamin dan mineral).
2.         Makanlah makanan untuk memenuhi kebutuhan energi, kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dari tiga sumber utama, yaitu karbohidrat, protein, dan lemak.
3.         Makanlah makanan sumber karbohidrat setengah dari kebutuhan energi. Konsumsi gula sebaiknya dibatasi 5% dari jumlah kecukupan energi atau sekitar 3-4 sendok perhari, 50-60% kebutuhan energi diperoleh dari karbohidrat kompleks, setara dengan 3-4 piring nasi.
4.         Batasi konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat dari kecukupan energi. Mengkonsumsi lemak hewani secara berlebihan dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah arteri dan penyakit jantung karoner.
5.         Gunakan garam beryodium,untuk mencegah timbulnya gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI).
6.         Makanlah makanan sumber zat besi, untuk mencegah anemia besi.
7.         Pemberian ASI saja pada bayi sampai 6 bulan. Pemberian ASI secara eksklusif ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi.
8.         Biasakan makan pagi, untuk memelihara ketahanan fisik dan meningkatkan produktifitas kerja
9.         Minumlah air bersih aman dan cukup jumlahnya, yaitu minimal 2 Liter atau setara dengan 8 gelas perhari.
10.     Lakukan kegiatan fisik dan olah raga secara teratur, untuk mencapai berat badan normal dan mengimbangi konsumsi energi yang berlebihan.
11.     Hindari minum-minuman berakhohol
12.     Makanlah makanan yang aman bagi kesehatan, yaitu bebas dari cemaran bahan kimia dan mikroba berbahaya yang dapat menyebabkan sakit.
13.     Bacalah label pada makanan yang dikemas, untuk mengetahui komposisi bahan penyusun (ingridien), komposisi gizi serta kadarluasanya. (31-05-2010 medicastore.com).

5.      Konsumsi Energi dan Protein
Berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VI, 1998, terjadi perubahan tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein menjadi 2200 Kalori/kapita/hari (AKE) dan 48 gram/kapita/hari (AKP). Mengacu pada standar anjuran tersebut dan data pada Tabel 3, terlihat tingkat konsumsi energi rumah tangga di Indonesia termasuk di propinsi Jawa Barat masih dibawah standar yang dianjurkan. Sebaliknya tingkat konsumsi protein rumah tangga sudah melebihi anjuran bahkan sejak sebelum krisis ekonomi.
Terdapat kecenderungan tingkat konsumsi energi di desa lebih tinggi daripada di kota dan sebaliknya tingkat konsumsi protein di desa lebih rendah daripada kota. Fenomena ini menunjukkan bahwa pada tingkat pendapatan tertentu, rumah tangga akan memprioritaskan pada pangan dengan harga murah seperti pangan sumber energi, kemudian dengan semakin meningkatnya pendapatan, akan terjadi perubahan preferensi konsumsi yaitu dari pangan dengan harga murah beralih ke pangan yang harganya mahal seperti pangan sumber protein.
Dalam konsumsi pangan, selain kuantitas juga harus diperhatikan masalah kualitas pangan. Walaupun secara kuantitas terpenuhi namun pangan yang dikonsumsi kurang beraneka ragam dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan fisik dan kecerdasan manusia. Permasalah ini yang masih serius dihadapi oleh masyarakat Indonesia
Di negara maju, sudah banyak orang yang mengubah pola konsumsi pangan hewaninya, dari red meat (daging-dagingan) kewhite meat (ikan-ikanan), karena makan ikan lebih menyehatkan daripada makan daging. Namun kondisi di Indonesia, tingkat partisipasi konsumsi daging masih tinggi dan cenderung meningkat, apalagi untuk daging ayam. Konsumsi daging sapi masih rendah karena harga daging relatif mahal sehingga tidak semua lapisan masyarakat mampu membelinya.
Indonesia adalah negara maritim yang merupakan negara penghasil berbagai jenis ikan, justru masyarakatnya cenderung meninggalkan ikan dan menyenangi daging yang bahan baku pakan ternaknya masih diimpor. Kecenderungan ini perlu mendapat perhatian dari semua pihak terutama dari pemerintah. Orientasi kebijakan ekspor ikan untuk memperoleh devisa jangan sampai menyebabkan harga ikan domestik menjadi mahal, sehingga sulit dijangkau oleh masyarakat luas. Padahal peranan ikan dalam peningkatan kualitas sumberdaya sangat erat, karena asam amino yang diperlukan untuk kecerdasan pada ikan lebih lengkap dan juga efek sampingnya lebih sedikit. Mengkonsumsi ikan dapat terhindar dari penyakit jantung dan penyakit degeneratif lainnya.
Sebenarnya konsumsi ikan masih bisa ditingkatkan mengingat potensi sumberdaya perikanan cukup besar baik dari perikanan tangkap (terutama untuk daerah pesisir) maupun hasil budidaya terutama ikan tawar. Selain itu pangan dari ikan tersedia di pasar dengan berbagai kualitas mulai dengan harga yang murah sampai harga mahal, sehingga masyarakat dapat memilih sesuai dengan daya beli yang bersangkutan, mungkin perlu penyuluhan pentingnya mengkonsumsi ikan dan hasil olahannya.

B.     Perubahan sosial dan kebudayaan berkaitan dengan pola konsumsi pangan dan gizi penduduk

1.      Makanan Sebagai Identitas Kelompok
Nasi adalah satu komoditas makanan utama bagi masyarakat Sunda-Jawa. Semantara jagung menjadi komoditas makanan utama masyarakat Madura. Bagi orang barat mereka tidak membutuhkan nasi setelah mengkonsumsi roti karena roti merupakan makanan utama dalam budaya barat. Persepsi dan penilaian seperti ini merupakan makna makanan sebagai budaya utama sebuah masyarakat, oleh karena itu tidak menghjerankan bila orang sunda, kendati sudah makan roti kadang kala masih berkata belum makan kerena dirinya belum makan nasi.
Karena ada kesangsian terhadap makanan hasil olahan atau makanan instan, banyak di antara masyarakat kota yang sudah mulai pidah ketradisi vegetarian. Bagi kelompok “gang’’, meenghirup ganja, narkoba, dan merokok merupakan ciri kelompoknya. Kacang diidentikan sebagai makan yang biasa menemani orang menonton sepak bola, merokok menjadi teman untuk menghadirkan inspirasi atau kreativitas. Pemahaman dan persepsi inilah lebih merupakan sebuah persepsi budaya tandingan (counter-cultulre) terhadap budaya domuinan.
Selain mengandung budaya dominan dan budaya tandingan, makanan pun menjadi bagian dari budaya populer. Bakso merupakan makanan populer bagi perempua. Trakhir makanan sebagai makanan khusus untuk kelompok tertentu. Makanan sub kultural misalnya daging babi bagi kalangan nasrani, ketupat bagi kalangan muslim di hari lebaran, dodol bagi Cina dihari imlek, coklat menjadi icon budaya dalam menunjukan rasa cinta dan kasih.
Bardasarkan talaahan ini, makanan mengandung makna sebagai:
a.      Identitas arus budaya utama (dominan culture), artinya harus ada dan menjadi kebutuhan utama masyarakat.
b.      Budaya tandingan (counterculture), yaitu menghindari arus utama akibat adanya kesangsian atau ketidak sepakatan dengan budaya arus utama, dan
c.      Makanan sebagai identitas budaya bagi suatu kelompok tertentu (subculture).

2.      Makanan sebagai keunggulan etnik
Bila orang mendengar kata gudek, maka akan terbayang kota Yogyakarta, mendengar kata pizzahat akan terbayang Italia, mendengar kata dodol dan jeruk terbayang kota Garut, tetapi bila mendengar jeruk bangkok atau ayam bangkok sudah tentu akan terbayang Bangkok-Thailand.
Contoh tersebut menunjukan bahwa makanan merupakan unsur budaya yang membawa makna budaya komunitasnya. Di dalam makanan itu, orang tidak hanya mengkonsumsi material makananya melainkan mengkonsumsi kretivitas dan keagungan budaya. Tidak ada yang heran bila ada orang yang makan tahu sumedang terasa hampa makna bila tahu itu dibeli diluar sumedang dan dirinya pun tidak pegi kesumedang. Begitu pula sebaliknya, masyarakat akan memiliki kebanggaan tertentu bila mengkonsumsi moci  yang dibeli asli dari Cianjur.
Makanan adalah icon keunggulan budaya masyarakat. Semakin variatif makanan itu dikenal publik semakin tinggi apresiasinya masyarakat daerah itu, semakin luas distribusi wilayah pasar dari makanan tersebut, menunjukan kualitas makanan tersebut diakui oleh masyarakat.

3.       Perubahan Produksi pangan
Secara tradisional, makanan diperoleh melalui pertanian. Dengan meningkatnya perhatian dalam agribisnis atas perusahaan-perusahaan multinasional yang memiliki pasokan makanan dunia melalui paten pada makanan yang dimodifikasi secara genetis, telah terjadi tren yang sedang berkembang menuju pertanian berkelanjutan praktek. Pendekatan ini, sebagian didorong oleh permintaan konsumen, mendorong keanekaragaman hayati , daerah kemandirian dan pertanian organik metode.
Peralatan yang digunakan dalam proses produksi pangan secara  tradisional adalah alat yang sederhana. Contohnya adalah kompor tungku, pemanggang yang menggunakan bara api, piring yang terbuat dari tanah, dan sebagainya. Sedangkan produksi secara modern menggunakan teknologi yang canggih. Kelebihan menggunakan teknologi adalah dapat mempermudah dan mempecepat proses produksi pangan. Contohnya adalah oven, kompor listrik, mikrowave, dan sebagainya.
Dalam budaya populer, produksi massal produksi pangan, khususnya daging seperti ayam dan daging sapi, mendapat kecaman dari berbagai dokumenter mendokumentasikan pembunuhan massal dan perlakuan buruk terhadap binatang, terutama pada perusahaan-perusahaan besar. Produksi serealia pun dilakukan secara massal dan menggunakan peralatan modern.
Produksi pangan yang dilakukan secara modern dapat mempermudah proses produksi. Hal tersebut juga dapat mempengaruhi perubahan sosial dan kebudayaan. Contohnya adalah jika produksi pangan dilakukan secara tradisional maka masyarakat akan saling bekerja sama dan saling bergotong-royong, dan  dapat meningkatkan hubungan sosial antar masyarakat. Sedangkan produksi pangan yang dilakukan secara modern menggunakan alat-alat canggih dapat meregangkan hubungan antar masyarakat. Karena dalam proses produksi hanya dibutuhkan tenaga kerja dengan jumlah yang relatif sedikit.

4.      Perubahan Konsumsi Pangan
Pola konsumsi pangan masyarakat di setiap daerah berbeda-beda, yaitu perbedaan pola konsumsi pada masa  pra-ASI, balita, anak-anak, remaja, dewasa, ibu hamil, dan lanjut usia.
Pada masa sebelum adanya pengetahuan masyarakat tentang gizi, para orang tua mengambil peran penting dalam memperhatikan kebutuhan gizi keluarganya. Pengetahuan orang tua yang minim dapat mempengaruhi status gizi keluarganya.
Sebelum adanya panduan tentang gizi, makanan pra-ASI yang dikonsumsi bayi dibawah 6 bulan adalah madu, air tajin, pisang, air kelapa, dan kopi. Masyarakat belum mengetahui bahwa bayi berumur dibawah 6 bulan tidak boleh diberi makanan lain kecuali ASI. Setelah adanya panduan ilmu gizi yang menyebar di masyarakat,  pemberian makanan pra-ASI yang salah semakin berkurang.
Pada kalangan anak-anak dan remaja, pola konsumsi makanan dipengaruhi oleh budaya masyarakat yang menganggap bahwa makanan memiliki pantangan atau tabu untuk dimakan. Contohnya bagi anak-anak dan balita dilarang memakan makanan yang asam, pedas, anyir, karena dapat mengakibatkan perut menjadi panas bahkan sakit perut. Di era globalisasi, pola konsumsi anak-anak dan remaja beralih ke makanan cepat saji (fast food), snack, dan konsumsi gula yang berlebihan. Hal tersebut dapat memperburuk status gizi dan kesehatan.
Masyarakat beralih pada tempat-tempat yang menjual makanan cepat saji, yaitu restoran, cafe, pizza hut, dan outlet-outlet lainnya. Kepercayaan masyarakat terhadap makanan tertentu dapat mempengaruhi pola konsumsi pangan pada setiap kalangan. Perubahan pola konsumsi pangan tersebut dapat menjadikan status gizi  lebih baik ataupun menjadi semakin buruk.

5.      Perubahan Distribusi Pangan
Secara sederhana, proses distribusi pangan hanya menggunakan alat transportasi sederhana, yaitu gerobak sapi, angkutan umum, truk, dan sebagainya. Di era modern, peralatan yang digunakan adalah teknologi canggih yang dapat mempermudah proses distribusi pangan. Bahkan, proses distribusi dapat melibatkan hubungan kerja antar negara. Alat transportasi yang digunakan pun semakin modern, seperti pesawat, helikopter, paket kilat, dan sebagainya.
Pemasaran Makanan menyatukan produsen dan konsumen. Ini adalah rangkaian kegiatan yang membawa makanan dari petani ke piring. Pemasaran bahkan produk makanan tunggal dapat menjadi proses rumit yang melibatkan banyak produsen dan perusahaan. Sebagai contoh, lima puluh enam perusahaan yang terlibat dalam pembuatan satu dapat dari mie sup ayam. Usaha ini meliputi tidak hanya ayam dan prosesor sayuran tetapi juga perusahaan-perusahaan yang mengangkut bahan dan orang-orang yang mencetak label dan pembuatan kaleng. Sistem pemasaran pangan adalah tidak langsung terbesar langsung dan non-pemerintah majikan di Amerika Serikat.
Di era pra-modern, penjualan makanan surplus berlangsung seminggu sekali saat petani mengambil barang-barang mereka pada hari pasar, ke pasar desa setempat. Berikut makanan dijual ke grosir untuk dijual di toko-toko lokal mereka untuk membeli oleh konsumen lokal. Dengan terjadinya industrialisasi, dan pengembangan industri pengolahan makanan, yang lebih luas makanan dapat dijual dan didistribusikan di jauh lokasi. Biasanya toko-toko kelontong awal akan  kontra didasarkan toko di mana pembeli kepada toko-penjaga apa yang mereka inginkan, sehingga toko-penjaga bisa mendapatkannya untuk mereka.
Pada abad ke-20 supermarket lahir. Supermarket membawa mereka self service pendekatan untuk belanja menggunakanshopping cart, dan mampu menawarkan makanan berkualitas dengan biaya yang lebih rendah melalui skala ekonomi dan mengurangi biaya staf. Di bagian akhir abad ke-20, ini telah lebih jauh merevolusi oleh perkembangan luas gudang berukuran, luar kota supermarket-, menjual berbagai macam makanan dari seluruh dunia.
Tidak seperti pengolahan makanan, ritel makanan adalah pasar lapis dua di mana sejumlah kecil sangat besar perusahaanmengendalikan sebagian besar supermarket. Raksasa supermarket menggunakan daya beli yang besar atas petani dan prosesor, dan pengaruh yang kuat atas konsumen. Namun demikian, kurang dari sepuluh persen dari belanja konsumen pada makanan pergi ke petani, dengan persentase lebih besar akan iklan , transportasi, dan perusahaan menengah











BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
1.      Setiap masyarakat memiliki persepsi yang berbeda mengenai benda yang dikonsumsi. Perbedaan persepsi ini sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang berlaku di masyarakat.
2.      Pola konsumsi pangan berupa variasi makanan, pola 4 sehat 5 sempurna, pola menu seimbang, konsumsi energi dan protein sangat mempengaruhi status gizi seseorang.
3.      Perubahan sosial dan kebudayaan berkaitan dengan pola konsumsi pangan dan gizi penduduk yaitu berupa perubahan produksi pangan, perubahan konsumsi pangan, dan perubahan distribusi pangan.
Perubahan status gizi di Indonesia dapat terjadi karena adanya pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan pola produksi, konsumsi, dan distribusi pangan juga dapat mempengaruhi terjadinya perubahan status gizi di Indonesia.
Pada era sebelum berkembangnya ilmu pengetahuan, pola pangan masyarakat masih dipengaruhi oleh persepsi yang berkembang di masyarakat. Setiap masyarakat memiliki persepsi yang berbeda mengenai benda yang dikonsumsi. Perbedaan persepsi ini sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma budaya yang berlaku di masyarakat.
Di era globalisasi dan semakin berkembangnya mobilitas membuat pola pangan masyarakat menjadi berubah. Perubahan pola pangan tersebut dipengaruhi oleh gaya hidup dan lingkungan sekitar. Semakin menjamurnya restoran, cafe, pizzahut, KFC, dan tempat makan cepat saji lain membuat masyarakat semakin sering mengonsumsi makanan cepat saji. Makanan cepat saji yang mengandung banyak lemak dan kolesterol  dapat memperburuk status gizi dan resiko terhadap penyakit semakin tinggi.
Perubahan sosial dan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tidak hanya mengubah pola pangan tetapi juga dapat mengubah status gizi, resiko terhadap penyakit, dan gaya hidup tidak sehat yang semakin merugikan.
Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat yang mengonsumsi, memproduksi, dan mendistribusikan pangan harus pintar dalam menjaga asupan makanan yang masuk ke dalam tubuh, menjaga status gizi dan melakukan gaya hidup sehat disertai dengan aktifitas fisik secara teratur

B.    SARAN
Sebaiknya, masyarakat Indonesia lebih memperhatikan asupan gizi melalui makanan yang sesuai dengan standar gizi. Agar generasi ke depannya memiliki gizi yang cukup (tidak lebih dan tidak kurang).



DAFTAR PUSTAKA

 Anonima.2012.”Panganindonesia”, Http:(medicastore.com). diakses pada tgl 10.Desember 2012.
Anonimb.2012.”PolaKomsumsiPanganIndonesia”, Http:www.gizi.net diakses pada tgl
10.Desember 2012.

 Anonimc.2012”PolaPangan” http://www1.worldbank.org/tobacco/. diakses pada tgl
10.Desember 2012.

 Anonimd.2012.”Panganindonesia http://id.wikipedia.org/wiki/produksi-pangandiakses pada tgl
10.Desember 2012.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar